Sabtu, 21 Juni 2008

Terimakasih Suamiku

"Bu, saya sekarang harus siap dipoligami..demi anak-anak. Saya malu sebenarnya bercerita ke ibu. Ibu lebih muda dari saya. maaf ya bu..." suara perempuan itu berubah menjadi isyak tangis. Sementara saya hanya diam mendengarkan lewat ganggang telpon. Seperti keinginannya, perempuan itu hanya ingin didengar karena dia bingung mau berbagi dengan siapa menghadapi himpitan masalah perkawinannya.

Saya mengenal perempuan itu sekitar 1 tahun yang lalu. Dia kerap datang ke pengajian mingguan di rumah saya. Di antara peserta lainnya dia paling tua umurnya. bahkan dengan saya terpaut lebih dari enam tahun. Awalnya saya tak pernah menyangka kalau rumah tangganya terserang badai apalagi dia baru saja melahirkan. Hingga suatu hari dia datang ke rumah dan menceritakan masalahnya.

Sungguh mendengarkan ceritanya membuat saya jadi trenyuh. Seribu kata-kata empati yang saya ucapkan tak akan mampu mengobati lukanya. Namun di sisi lain saya jadi mensyukuri kondisi pernikahan saya. Makanya setelah mendengar curhatan itu saya segera menelpon suami ," Bi, terimakasih sudah menjadi suami yang baik bagi ummi..." Kontan suami saya bingung. Saya jawab kebingungan itu dengan perkataan," nanti ceritanya di rumah saja.."

Suami saya adalah hal terbaik yang Allah berikan pada saya selain anak-anak. Kami memang sering berbeda pendapat dan kadang berantem karena urusan sepele. Kadang saling cemburu....Tapi itu adalah bumbu perkawinan. Di awal kami sudah berkomitmen untuk saling terbuka. tak ada privacy di antara kami. Saling lihat sms di handphone, email, isi dompet adalah hal biasa.

Ketika saya sakit dan kecapekan, suami tak segan-segan turun ke dapur untuk masak dan bersih-bersih. Memang ada ungkapan ' nobody perfect', tapi saya selalu menilainya sebagai lelaki sempurna di hidup saya di balik segala kekurangannya.

Dan hanya doa yang sentiasa terpanjatkan ke hadirat Allah SWT agar menjaga pernikahan kami dan menjadikan keluarga kami sakinah mawaddah warahmah. Amiin.