Rabu, 02 April 2008

THE WEDDING

Kalau datang ke pesta pernikahan sering saya teringat waktu menikah dulu. Saya dengan Kang Fikri masih culun, polos dan malu-malu kucing. Sehabis akad kami agak rikuh untuk bergandengan tangan bahkan duduk di pelaminan yang sederhana pun agak berjauhan. He..he..he..kesannya sih jaim padahal grogi. Bagaimana tidak grogi,ini adalah pertama kali berduaan dengan suami dan dilihatin sekian puluh pasang mata.

Tapi sebenarnya yang paling terasa di hati adalah perasaan cemas. Aneh ya…biasanya pengantin baru lebih didominasi rasa bahagia dan berbunga – bunga.Cemas itu muncul karena ada respon negatif keluarga Kang Fikri terhadap proses pernikahan kami. Mereka kurang sepakat karena kami tidak pernah kenal sebelumnya apalagi pacaran. Ini sebenarnya kesalahan kami berdua yang kurang pandai membuat pendekatan. Ceritanya gini nih…

Suatu hari saya mendapat amplop putih yang berisi biodata seorang ikhwan. Dibuka dan dibaca tertera biodata lengkap seorang ikhwan bernama : Fikri Abdurachman. Familiar juga tuh nama, hanya saja saya tidak pernah berinteraksi dengannya. Pernah sih melihat beberapa kali di kegiatan KAMMI. Dari biodata dilanjutkan ta’aruf. Nah ini pertama kali saya bertatap muka dan bicara dengannya. Setelah ta’aruf kami berdua dengan dibersamai teman tentunya lalu Kang Fikri datang ke rumah utnuk ta’aruf keluarga. Beberapa minggu kemudian keluarganya datang untuk mengkhitbah. Disinilah masalah muncul. Sebelum keluarganya datang ke rumah saya sempat bertemu dengan calon ibu mertua. Awalnya kita ngobrol dengan enak tapi kemudia beliau menyuruh saya menelpon Kang Fikri yang saat itu memang sedang pergi. Saya agak gelagapan karena tak punya nomor hpnya. Beliau jadi agak kesal setelah tahu kalau kami berdua jarang berkomunikasi dan malah tidak kenal sebelumnya. Hal itu masih berbuntut hingga ke pernikahan. Yaa beliau berpendapat bagaimana mungkin kami bisa membina sebuah ikatan pernikahan kalau tak pernah kenal sebelumnya. Terus terang saya juga jadi marah dengan calon suami kok tidak pernah mengkondisikan ke keluarga. Pokoknya runyam deh..

Alhamdulillah lama kelamaan badai berlalu. Saya pun hijrah ke Jakarta. Kuliah di STIS Jogja dan kerja ditinggalkan. Di Jakarta saya ngontrak. Lokasinya tidak jauh dari rumah mertua. Mulailah saya melakukan manuver pendekatan. Akhirnya rumah kontrakan itu jarang kami tempati karena kami lebih sering tinggal di rumah mertua. Dan sampai sekarang kami masih menemani ibu mertua yang tinggal sendirian. Beliau menjadi ibu sekaligus teman. Kami saling berbagi dan curhat setiap ada masalah. Selain itu kami punya hobi sama yaitu bercocok tanam. Setiap ada pameran kami berburu ke sana walau hanya sekedar memanjakan mata…habis tanaman favorit kami mahal harganya. Kadang-kadang suami sampai jealous melihat kekompakan kami. He..he..Dan saya mencoba selalu ingat nasihat ibu saya ,” Karo mertua kuwi lewih becik ngalah lan ngemong…anggep kaya wong tuamu dhewe..” Apa artinya hanyo…,” Dengan mertua itu lebih baik mengalah dan menjaga sikap, anggap seperti orang tua sendiri.

Tidak ada komentar: